Pecahnya perang
Asia Timur Raya (Perang Dunia ke-II) ditandai oleh penyerbuan Jepang terhadap
pusat pertahanan Amerika Serikat di Pearl Harbour tanggal 8 Desember
1941. Maka cita-cita Jepang (Hokko I Chiu) untuk menguasai Asia Tenggara
segera dilaksanakan, termasuk negara kita Indonesia. Pada tanggal 11 Januari
1942 mendaratlah tentara Jepang di Tarakan (Kalimantan) kemudian disusul
pendaratan terhadap pulau Jawa pada tanggal 28 Pebruari 1942 di tiga tempat,
yaitu Banten, Indramayu dan Rembang. Kemudian segera dilaksanakan pemerintahan
Jepang di Indonesia setelah tentara Belanda menyerah tanpa sarat di Kalijati
pada tanggal 9 Maret 1942.
Pada hari Selasa
Kliwon tanggal 2 Pebruari 1942 jam 11.00, 27 buah pesawat terbang Jepang
menjatuhkan bom-bom di lapangan udara Maospati, yang menyebabkan hancurnya
lapangan udara tersebut dan korban manusia berjatuhan. Walaupun pemerintahan
pendudukan Jepang berjalan dalam waktu relatif singkat yaitu kurang lebih 3,5
tahun saja, ternyata sangat dirasakan sebagai suatu beban penderitaan yang
sangat berat. Pada masa pendudukan Jepang, Kabupaten magetan memiliki catatan
tersendiri yang hingga kini masih menggores di dalam ingatan masyarakat.
Perampasan kekayaan penduduk yang berupa perhiasan, disusul dengan perintah
menyerahkan semua senjata milik penduduk dibawah ancaman kekerasan. Pemerintah
Jepang melaksanakan pengumpulan padi dengan cara ranjen (penjatahan) setiap
hektar tanah milik rakyat dikenakan dua kuintal gabah yang kemudian ditukar
dengan kain blaco dan kain kasar lainnya. Para pemuda dan orang yang masih kuat
diwajibkan masuk Kaibodan, Sainendan dan Heiho, kalau perlu bisa dikerahkan
maju ke medan pertempuran melawan sekutu. Setiap desa diminta mengirimkan 5
sampai 15 orang untuk diperkejakan rodi. Dan dari Magetan banyak yang
diberangkatkan ke Burma sebagai romusha.
Kehidupan rakyat
menjadi semakin sengsara. Para tawanan yang berkebangsaan Belanda semua
dikumpulkan di gedung argopeni dan girimoyo desa Plaosan. Adapun para tawanan
yang berkebangsaan Jerman dikumpulkan di hotel Bergzicht Sarangan. Para kepala
desa se karesidenan Madiun segera diharuskan mengikuti kursus untuk di didik
dalam bahasa Jepang, tata cara pertanian, kesehatan, olah raga, baris berbaris
dan menulis. Di bidang pemerintahan, Jepang melanjutkan sebagian besar struktur
pemerintahan Belanda dan nama-nama pimpinannya diganti nama Jepang. Pada waktu
pemerintahan Jepang, Bupati yang menjabat adalah Raden Mas Tumenggung Suryo.
Selanjutnya pada hampir surutnya kekuasaan Jepang, Bupati Magetan dijabat oleh
Dokter Sajidiman. Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa
sarat kepada sekutu. Pemuda Magetan yang pernah mendapatkan pendidikan dalan
seinendan, keibodan, heiho dan Peta, semua mengorganisir diri dalam kesatuan
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjelma menjadi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR), bangkit melawan dan melakukan pelucutan senjata tentara Jepang
terutama setelah diplokamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945.
Pada tanggal 17
Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang di seluruh dunia.
Menandakan bangkitnya seluruh rakyat Indonesia mengusir segala kekuasaan asing
dari Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945 lahirlah Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia. Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai badan pemerintah
segera dibentuk dan dilantik berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1945.
Tentara Jepang yang pada saat itu masih memegang senjata lengkap, belum mau
menyerahkan kekuasaan kepada bangsa Indonesia sekalipun mereka telah mendengar
bahwa jepang telah menyerah kepada sekutu. Pada waktu itu Kabupaten Magetan
dibawah pimpinan Bupati Kepala Daerah Dokter Sajidiman bersama dengan tokoh-tokoh
masyarakat segera berusaha membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Magetan.
Maka pada tanggal 21 Agustus1945 terbentuklah Komite Nasional Indonesia Daerah
Magetan dengan susunan, Ketua : Dokter Sajidiman, Bupati Kepala Daerah. Wakil
Ketua : Moh. Wijono, yang anggotanya terdiri dari wakil dari instansi-instansi
dan badan-badan sosial yang ada.
Menyusul
kemudian pembentukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang beranggotakan bekas
Peta, Haiho, Knil dan para pemuda pada tanggal 20 Agustus 1945 bertempat di
gedung Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan (BPKKP), yang sekarang menjadi
gedung Balai Pertemuan Mahendra Magetan. Susunan BKR Magetan adalah Ketua :
Soetojo, Wakil : Lucas Kustarjo, sekretaris : Samsoeri, anggota staf :
Soedijono Alimbi, Mangkoedimoeljo, Soemadi dan Bustami. Pelindung : Dokter
Sajidiman dan Moh. Wijono. Komite Nasional Indonesia Daerah Magetan selanjutnya
diubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) sesuai instruksi dari
pusat. Dengan susunan sebagai ketua : Dokter Sajidiman, wakil : Moh. Wijono,
dan anggotanya : Koesman BID, Umardanus, Amir dan Joewono. BPRD dengan dipimpin
oleh Bupati Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur urusan rumah tangga
daerah.
Pada permulaan
bulan September 1945 dengan didahului pembicaraan antara wakil tentara Jepang
dan Republik Indonesia yang terdiri dari Bupati, Pimpinan BKR dengan diikuti
beribu laskar BKR, dilakukan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang di
asrama DVO (sekarang Dodik Sarmil). Pelucutan senjata berikutnya dilakukan terhadap
tentara Jepang yang berada di benteng Durenan, pusat persenjataan dan pemancar
radio Jepang, lapangan udara Maospati (sekarang Lanud Iswahyudi), di pabrik
gula Purwodadi dan di pabrik gula Rejosari. Dengan selesainya pengambil-alihan
kekuasaan Jepang, setahap demi setahap diadakan penyempurnaan aparat
pemerintahan daerah baik di kota ataupun di luar kota. Hangatnya suasana
serangan Inggris dan Gurka terhadap Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945,
menjilat sampai Magetan. Usaha sosial dilakukan dalam bentuk menyediakan
penginapan sementara dan menyediakan penampungan bagi keluarga orang-orang yang
datang dari Surabaya. Disamping itu membentuk Badan Asrama Laskar Tetap dibawah
pimpinan Moh. Wijono yang tugasnya mengurus pengiriman barisan ke front Surabaya.
Kalau pada masa
pendudukan tentara Jepang dilarang adanya organisasi politik, maka setelah
kemerdekaan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945
dalam rangka menumbuhkan azas-azas demokrasi ditanah air maka lahirlah
organisasi-organisasi politik baru. Pada masa perjuangan kemerdekaan,
organisasi-organisasi perjuangan yang ada misalnya KNI, Laskar Rakyat, Pesindo,
Hisbullah, BPRI dan lain-lain semuanya hanya bertekad mempertahankan Negara
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berfalsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar
45. Tetapi dengan keluarnya Maklumat No. X tahun 1945, badan-badan perjuangan
mulai cenderung berafiliasi kepada organisasi politik.
Hasil
perundingan Linggarjati tanggal 15 Nopember 1946 menimbulkan sikap pro dan
kontra bagi golongan partai politik di Magetan. Pertentangan politik menjadi
tajam antara partai politik pendukung pemerintah dan partai-partai politik
pihak oposisi terutama dari PNI dan Masyumi. Pihak oposisi terhadap perjanjian
Linggarjati membentuk Banteng Republik antara lain terdiri dari PNI dan Masyumi
serta laskar yang berafiliasi antara lain BPRI (Badan Perjuangan Republik
Indonesia). Dengan hadirnya Mr. Amir Syarifudin di Magetan disambut dengan
rapat raksasa yang digerakkan oleh front Demokrasi Rakyat (FDR), pada waktu itu
terjadilah perang plakat antara FDR dengan Banteng RI. Sejak saat itu atmosfer
politik di Magetan semakin panas, ditambah lagi kedatangan Muso di Madiun yang
disambut oleh puluhan massa komunis yang berpakaian hitam berikat kepala
merah. Benar-benar merupakan demonstrasi yang menakutkan golongan di luar
komunis. Golongan komunis mengadakan oposisi pada pemerintah. Di desa-desa
selalu disibukkan dengan daulat-mendaulat, tuntutan soal bengkok, lumbung desa
dan lain sebagainya. Perampokan timbul dimana-mana.
Pada tanggal 18
September 1948 meletuslah pemberontakan PKI Muso di Madiun. Pada malam harinya
Magetan diserbu oleh PKI Muso dengan mengadakan penangkapan dan pembunuhan
terhadap pimpinan pemerintah dan tokoh-tokoh lawan partainya. Antara lain yang
tercatat sebagai korban keganasan PKI adalah Bupati kepala daerah : Soedibjo,
Wakil ketua BPRD : Moh. Wijono, Patih Magetan : Soekardono, Kepala Polisi
Magetan : Ismiadi beserta anggota kepolisian Magetan, Kepala Japen Magetan :
Umardanus, Ketua PDR Magetan : Judikusumo, Komandan KDM Magetan : Kapten Imam
Hadi, Komandan Depo Magetan : Kapten Soebirin, Kepala Pendidikan masyarakat
Magetan : Sumardi, pegawai KUA Magetan : Kyai Samsoeri, pegawai Pengadilan
negeri Magetan : Murti dan lain sebagainya. Selain itu gedung-gedung pemerintah
diambil alih oleh PKI, diantaranya gedung Arentnest, pusat pendidikan militer
akademi di Sarangan, gedung tempat para siswa latihan Opsir Polisi Militer
(LOPM) di Sarangan, gedung-gedung pusat Akademi Angkatan Laut (bekas hotel
lawu) di Sarangan. Selama kurang lebih seminggu PKI berkuasa di Magetan.
Sementara itu pemerintah Indonesia yang pada waktu itu berada di Yogyakarta,
menanggapi pemberontakan PKI Madiun dengan tegas. Pemerintah mengirimkan satuan
dari divisi Siliwangi ke Madiun untuk menindak pemberontakan. Pada akhir
September 1948 pasukan Siliwangi dibawah pimpinan Letkol Sadikin dan Mayor
Achmad Wiranatakusumah sampai di Sarangan lewat Cemorosewu. Segera dimulai
penangkapan terhadap orang-orang PKI, orang-orang yang ditawan PKI dibebaskan.
Penyerangan pasukan Siliwangi diteruskan ke Plaosan, kemudian pasukan Siliwangi
tidak langsung ke Magetan tetapi ke Madiun lewat Ngariboyo Goranggareng. Dan
pada tanggal 26 September 1948 Magetan dapat direbut oleh TNI. Daerah-daerah
yang telah dibebaskan dibentuk Pemerintahan Militer KODM (Komando Onder Distrik
Militer) di tingkat Kecamatan dan KDM (Komando Distrik Militer) di tingkat
Kabupaten.
Persetujuan Linggarjati
tanggal 19 Maret 1947 yang antara lain menyebutkan bahwa Belanda mengakui
kekuasaan de fakto dari Republik Indonesia di Pulau Jawa, Madura dan
Sumatra. Diartikan oleh Belanda bahwa sebelum Negara Indonesia Serikat
terbentuk, Belanda yang berdaulat di Indonesia. Persetujuan Linggarjati
dilanggar dengan terang-terangan oleh Belanda, dengan jalan mengadakan serangan
sporadis disana-sini yang mengakibatkan melemahnya Republik Indonesia dan mulai
membentuk negara boneka dimana-mana serta menjalankan politik devide et impera.
Pada tanggal 19 Desember 1948 ibukota Republik Indonesia yang berkedudukan di
Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Presiden, Wakil Presiden dan beberapa mentri
dan pejabat negara ditawan dan diasingkan. Belanda mengira dengan cara ini
Republik Indonesia akan berakhir. Tetapi perlawanan terhadap Belanda tidak
berakhir, perang gerilya yang dipimpin panglima besar Sudirman terus dilakukan.
Demikian pula di Magetan, TNI dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP)
bersama-sama rakyat membuat rintangan jalan dengan cara menebang pohon untuk
dirintangkan ditengah jalan, membuat lubang-lubang di jalan penting dan
menghancurkan jembatan-jembatan. Gedung-gedung yang diperkirakan akan dapat
digunakan sebagai markas Belanda dibumi hanguskan.
Pada tanggal 19
Desember 1948 Belanda menyerbu Magetan. Belanda masuk Magetan dari arah barat
melalui Tawangmangu Jawa Tengah. Sekalipun jembatan besar di Cemorosewu telah
dihancurkan oleh TRIP, tetapi dapat diperbaiki kembali oleh Belanda. Setelah 7
hari berada di Sarangan dan bermarkas di hotel Bergzinct, kemudian menuju ke
Magetan. Di Plaosan pasukan Belanda dipecah manjadi dua jurusan yaitu lewat
Pacalan dan nDele terus Nitikan. Pasukan kompeni yang lewat Pacalan
menjumpai kesulitan, karena jembatan Gemah yang sudah dihancurkan dan mendapat
perlawanan sengit dari TNI dan TRIP. Terjalin kerjasama yang kuat antara TNI
dan rakyat, terbukti dengan dibuatnya dapur umum yang bertempat dirumah Kepala
Desa Slagreng. Dari arah timur, Belanda datang lewat Madiun – Goranggareng –
Sundul – Krajan – Ngariboyo. Sampai di Ngariboyo mendapat perlawanan dari TNI
dibawah pimpinan Lettu Tatang Soetrisno. Dari arah sebelah utara Belanda datang
dari jurusan Simo – Kendal – Panekan – Magetan. Samapi di kota, Belanda tidak
melihat adanya kantor Kabupaten karena sebelumnya sudah dihancurkan oleh
gerilyawan, dan Pemerintahan Magetan pindah ke luar kota Magetan. Bupati
beserta staf hijrah ke dukuh Ngelang Baleasri kemudian ke dukuh Geger
Sambirobyong. Disini Bupati Magetan Kodrat Samadikoen dengan staf termasuk
Patih Soehardjo ditangkap Belanda waktu tengah malam.
Sekalipun
pejabat-pejabat penting tertangkap Belanda, tetapi tidak melemahkan semangat
perlawanan terhadap Belanda. Perang gerilya masih terus dilancarkan pasukan TNI
dan rakyat. Pasukan Batalion Sukowati menyebar tenaganya menjadi
pasukan-pasukan kecil untuk mengadakan perlawanan secara gerilya.Pemerintahan
Militer (KDM) dibagi menjadi dua, yang pertama di selatan sungai Gandong
dibawah pimpinan Mayor Soebiantoro dan satunya berada di utara sungai Gandong
dibawah pimpinan Letkol Anwar Santosa. Dengan tertangkapnya Mayor Soebiantoro
dan pindahnya Letkol Anwar Santosa dari Magetan maka KDM dipimpin oleh Lettu
Soedijono. Pimpinan gerilya yang tidak terlupakan oleh masyarakat Magetan
antara lain Letnan Paimin, Iskak dan Harjono. Pada awal Nopember 1949 pasukan
Belanda yang ada di Parang disergap oleh kompi Letnan Soebandono, kompi Niti
Hadisekar dan kompi Kresno yang mengakibatkan banyak korban di kedua belah
pihak. Desa Sumberdodol kec. Panekan menjadi tempat berkumpulnya para pimpinan
sipil dan militer. Antara lain Bupati Magetan dan Residen Madiun. Rumah Sakit
Umum Magetan dipindahkan pula kesana. Pasukan Batalion TNI dibawah pimpinan
Komandan Kompi Moch. Jasin pernah berada di desa Jabung.
Demikianlah
selama Magetan diduduki Belanda, rakyat dan TNI saling bahu membahu melawan
musuh. Pemerintahan Kabupaten yang berada di luar kota, demikian pula
pemerintahan Kecamatan tetap berjalan dengan lancar sekalipun harus
berpindah-pindah tempat menghindari incaran Belanda. Gerilyawan memblokade
bahan makanan terutama beras dan telur dilarang dibawa masuk ke kota. Untuk
memperlancar sirkulasi ekonomi dan perdagangan maka dikeluarkan uang kertas
yang terkenal dengan nama uang check. Belanda makin terdesak dimana-mana, di
kota-kota Belanda tidak merasa aman. Belanda tidak dapat bergerak secara
leluasa karena pasukan gerilya dapat menyerang sewaktu-waktu. Serangan paling
berani yang dilakukan besar-besaran adalah pada tanggal 1 Maret 1949 ke dalam
kota Yogyakarta dan berhasil mendudukinya selama 6 jam oleh TNI. Akhirnya
Belanda terpaksa mengambil langkah menuju meja perundingan dengan pihak
Indonesia. Tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan. Delegasi RI dipimpin
oleh Mr. Mohammad Rum sedang Belanda dipimpin oleh Dr. Van Royen. Hasil
perundingan antara lain diadakan penghentian tembak menembak dan pengembalian
pemerintahan RI ke Yogyakarta. Kemudian disusul konferensi Meja Bundar di Den
Haag pada tanggal 23 Agustus sampai 2 Nopember 1949. Delegasi RI dipimpin oleh
Dr. Moh. Hatta. Keputusan meja bundar berisi bahwa Belanda mengakui kedaulatan
RI sepenuhnya tanpa sarat kecuali Irian Barat. Di Magetan perundingan antara
Belanda dan RI berlangsung di Desa Cepoko kecamatan Panekan, perwakilan RI dipimpin
oleh Letnan Soebandono. Pada tanggal 26 Oktober 1949 tentara belanda
meninggalkan kota Magetan dan pada tanggal 1 Januari 1950 pemerintahan yang
berada di pedalaman kembali ke dalam kota.
Setelah kurang
lebih dua bulan Kepala Pemerintahan Magetan dijabat saat itu oleh Kodrat
Samadikun. Pada pertengahan Pebruari 1949 Bapak Kodrat Samadikun ditangkap oleh
Belanda di desa Sambirobyong dan kemudian Belanda mendirikan pemerintahan
federal di Magetan tetapi ruang geraknya hanya terbatas di kota Magetan dan Maospati
saja. Dengan adanya penangkapan ini Pemerintah Kab. Magetan terjadi kevakuman
terlebih lagi setelah tanggal 21 April 1949, Mayor Subiyantoro selaku komandan
KDM bersama para staf ditangkap juga oleh Belanda. Dengan adanya kevakuman itu
maka Komandan STM (Sub Teritorium Militer) Madiun yang saat itu dipimpin oleh
Letkol Marjadi pada tanggal 25 April 1949 menunjuk Lettu Sudijono sebagai
komandan KDM dan beberapa perwira lainnya sebagai staf yang semuanya berasal
dari Batalion Yudo. Pada saat itu mulailah Komandan KDM Lettu Sudijono menyusun
kembali Pemerintahan Darurat Sipil RI dengan memerintahkan saudara R. Ismail,
Soewarno dan Suwito yang masih berada di kota Magetan untuk menghadap ke
markas. Setelah menghadap, pada tanggal 23 Mei 1949, kepada mereka diberi tugas
sebagai berikut : M. Doellah sebagai Sekretaris Kabupaten, R. Ismail sebagai
Asisten Wedono di Kab. Magetan, Soewarno dan Soewito sebagai staf. Tugas utama
adalah menyusun kembali Pemerintahan Sipil dan kemudian tersusunlah
Pemerintahan Sipil sbb :
1. M. Ilham sebagai Wakil Bupati
2. M. Doellah sebagai Sekretaris
3. R. Ismail sebagai Ass. Wedono
4. M. Prawoto sebagai Kepala PDK
5. Soewandi sebagai Kepala Japen
6. Soemardi sebagai Ka Din Perindustrian
7. Sarbini sebagai Camat Magetan
8. Moestajab sebagai Camat Panekan
9. Harsono sebagai Camat Plaosan
10. Hardjosoewignjo sebagai Mantri Polisi
11. Saekon sebagai A W Parang
12. Ledoeng sebagai A W Lembeyan
13. Sanoesi sebagai A W Kawedanan
14. Imam Soefaat sebagai A W Bendo
15. Sarman sebagai A W Takeran
16. Benoe sebagai A W Maospati
17. Koesoemo Hadiprodjo sebagai A W Karangrejo
18. R. Abdollah sebagai A W Karangmojo
19. Soerat sebagai A W Sukomoro
20. Koesman sebagai A W Poncol
Dan semua dapat berhasil jika
didukung oleh :
·
Dukungan penuh dari rakyat
·
Kerjasama yang erat antara sesama
instansi terutama antara sipil dan militer, pemerintah dengan rakyat
·
Jiwa dan semangat persatuan dan
kesatuan serta gotong-royong yang tinggi
·
Kejujuran, keuletan daya juang
yang tinggi dari para petugas Negara RI
Sehingga lahir semboyan :
·
Lebih baik hancur lebur dari pada
dijajah kembali
·
Merdeka atau mati
·
Jer Basuki Mawa Bea
·
Rawe-rawe rantas malang-malang
putung
Sebuah peristiwa
yang perlu dicatat ialah pada saat akan diadakan ulan tahun kemerdekaan RI yang
ke IV, guna melumpuhkan pemerintah Federal di kota oleh Komandan KDM
dikeluarkan instruksi agar para pegawai yang berada di kota Magetan semua
keluar karena kota Magetan akan digempur. Instruksi tersebut ditaati oleh para
pegawai Federal dan mereka keluar menggabungkan diri pada pemerintah RI. Untuk
menjamin kelangsungan hidup aparat pemerintah RI dan untuk mengelola jalannya
pemerintahan maka pemerintah mengadakan pungutan-pungutan yang berupa pajak
innatura, retribusi pasar, dana atas ijin perusahaan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Pada saat KDM membutuhkan keuangan maka kebutuhan tersebut dicukupi
oleh KDM yang memiliki persediaan cukup. Dengan mengikuti taktik dan strategi
militer yang ditentukan oleh KDM maka kantor Pemerintahan RI Kab. Magetan
selalu berpindah-pindah tempat, seperti :
·
Dari Gemawang ke Bogang desa
Ngunut
·
Dari Bogang ke Blimbing desa
Ngunut
·
Dari Blimbing ke Wadung Parang
·
Dari Wadung ke Ngariboyo Kec.
Magetan pada akhir Oktober 1949
Sejak tahun 1950
smpai tahun 1955 usaha pembangunan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Magetan
di dalam usaha mengisi cita-cita kemerdekaan tidak banyak dihasilkan. Hal
ini disebabkan oleh pengaruh situasi negara yang sedang menghadapi gangguan
keamanan. Gangguan yang merintangi pembangunan di negara ini antara lain
seperti gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) dibawah pimpinan Westerling
yang meletus di Bandung tahun 1950, gerakan RMS (Republik Maluku Selatan)
dibawah pimpinan Soumokil, pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan
lain-lain. Setelah pulihnya keamanan, Pemerintah Daerah Kab. Magetan maka sebagai
Bupati ditunjuk M. Soehardjo dan sekretarisnya R. Soemardjo. Kantor Kabupaten
yang bertempat di kantor Distrik Magetan (sekarang kantor Pembantu Bupati di
jalan A. Yani No.88) dipindah dan dipecah menjadi dua yaitu kantor Otonom di
desa Tambran (sekarang jl. Jendral Soedirman No. 2 Magetan) dan kantor Pamong
Praja yang bertempat di desa Tambran pula. Sementara itu pemerintah pusat sudah
memandang perlu untuk membentuk daerah-daerah Kabupaten yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri seperti dalam Undang-Undang No. 22 tahun
1948 tentang pemerintah daerah. Dengan Undang-Undang No. 12 tahun 1950 tentang
pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur, di
Propinsi Jawa Timur ditetapkan 29 Kabupaten termasuk Kabupaten Magetan.
Berdasarkan
hasil sidang pleno BPRD (Badan Perwakilan Rakyat Daerah) tanggal 27 Desember
1950 keanggotaan Badan Eksekutif yang hanya tinggal dua orang dilengkapi lagi
menjadi lima orang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang
Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRD-S), maka
hasilnya di Magetan jumlah anggota 22 orang. Pembangunan di Magetan yang
dapat dilaksanakan sejak tahun 1950 antara lain perbaikan jembatan dan
gedung-gedung penting yang dibumi hanguskan pada saat agresi Belanda. Pasar
kota Magetan selesai dibangun pada tahun 1951. Pada permulaan tahun 1952
dimulai pembangunan Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Magetan yang meliputi
kantor Otonom, PUK, Kantor Pamong Praja, dilengkapi dengan ruang sidang DPRD,
kantor Bupati Kepala Daerah dan kantor DPD.
Setelah
peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965, Pemerintah Kabupaten Magetan segera
melakukan penyuluhan dan penerangan kepada seluruh penduduk sampai ke pelosok
desa. Ini bertujuan untuk menciptakan stabilitas dan rehabilitas pasca
pemberontakan. Serta dalam usaha untuk merombak dan meninggalkan pola pikir
yang lama diganti dengan pengamalan Pancasila. Dibidang stabilitas politik,
keamanan dan ketertiban ternyata berjalan dengan baik. Sampai pada Pemilu tahun
1971 situasi Magetan sangat menggembirakan. Disamping itu hasil nyata bidang
pembangunan dapat diwujudkan dengan baik karena tanpa adanya gangguan
stabilitas keamanan.
Lahirnya ORDE
BARU sebagai koreksi terhadap segala bentuk penyelewengan Orde Lama yang di
dominasi PKI, memulai lembaran baru dan menumbuhkan harapan untuk mengenyam
kehidupan yang lebih baik di alam Kemerdekaan
Tatanan
kehidupan dikembalikan pada Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen. Secara nyata hal ini ditandai oleh 2 pokok tonggak bersejarah:
Pertama : Pencanangan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) tahap Pertama oleh Presiden Soeharto,
yang dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969
Kedua : Penyelenggaraan
Pemilihan Umum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dilaksanakan pada
tanggal 3 Juli 1971 di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu pula
penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Kabupaten Daerah Tingkat II
Magetan yang waktu itu (1968-1972) dipimpin oleh Boediman sebagai Bupati Kepala
Daerah lebih di titik beratkan pada stabilitas Daerah dan penataan administrasi
pemerintahan
Dalam hal ini Boediman
memperkenalkan SANTIAJI SAPTA “P” yaitu :
·
PAGAR, maksudnya keamanan
·
PENGERTIAN PAMONG, Maksudnya agar
aparat pemerintah lebih bersifat melayani rakyat, bukan lagi PANGREH yang hanya
ngereh atau main kuasa
·
PENERTIBAN ADMINISTRASI menuju
Panca Tertib
·
PENDIDIKAN
·
PRODUKSI (Pertanian, Peternakan
dan Pengairan)
·
PKK (waktu itu Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga), sebagai ganti PENTERAGA
·
PAJAK (untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat ikut mensukseskan pembangunan)
Masalah PAGAR
atau keamanan pada waktu itu menjadi perhatian utama, mengingat Kabupatem
Magetan waktu itu diduga masih menjadi basis pergerakan PKI bawah tanah sebagai
Daerah COMPRO LAWU.
Kehidupan
politik secara berangsur-angsur dapat dikendalikan. Hal ini ditandai dengan
lancarnya perubahan KOKARMINDAGRI dan organisasi Karyawan Instansi lainnya
menjadi KORPRI sebagai satu-satunya wadah pembinaan Pegawai Negeri Sipil diluar
kedinasan, serta suksesnya penyelenggaraan Pemilu pertama di zama Orde Baru
tanggal 3 Juli 1971.
Hasil pemilu
1971 dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur
tanggal 1 Oktober 1971 No. Pem./618/G/80/Des. Menghasilkan Keanggotaan DPRD
Tingkat II Magetan yang berjumlah 40 orang, terdiri dari wakil GOLKAR 29 orang,
PNI 5 orang, NU 4 orang, PARMUSI 1 orang, dan PSII 1 orangPelantikan
dilaksanakan pada tanggal 7 oktober 1971, dengan susunan pimpinan: Ketua
NGABDAN MARGOPRAJITNO, Wakil Ketua: LETKOL.MOERJIDAN dan TRIMO.
Sektor ekonomi
juga mulai membaik, antara lain dengan pelaksanaan BIMAS GOTONG ROYONG yang
kemudian ditingkatkan menjadi BIMA YANG DISEMPURNAKAN. Sejalan dengan itu upaya
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani melalui PANCA USAHA TANI di
Kabupaten Magetan oleh Ketua Satpel Bimas R. SOEBOWO (waktu itu Patih Magetan)
dipopulerkan dengan istilah RABI GABAH (Rabuk cukup, Bibit unggul, Garapane
apik, Banyune cukup, Hamane di berantas.
Sektor ketenaga
kerjaan mulai mendapat perhatian melalui Proyek Padat Karya dan Proyek PKDI
(Pemberian Kerja Darurat Istimewa), demikian pula usaha konservasi tanah mulai
digerakkan melalui Penghijauan, yang serempak pertama kali dilakukan di Gunung
Bungkuk dan Gunung Bancak (Desa Garon dan Desa Tladan) mencapai luas
penghijauan 3,031 Ha dan Pengawetan tanah seluas 800 Ha.
Pada tahun 1971
telah dibangun Bronkaptering dan perpipaan air bersih sepanjang 11 km dari
Sumber Jabung kecamatan Panekan ke desa Ginuk, kecamatan Sukomoro yang sangat
kekurangan air. Meskipun demikian, akibat pola kehidupan pada masa Orla yang
lebih banyak berorientasi pada politik, kemampuan ekonomi masyarakat memang
masih lemah. Pada awal Pelita (1969) ternyata masih ada penduduk Magetan
khususnya di desa-desa yang menderita busung lapar. Keadaan demikian mendorong
Pemerintah Kabupaten Magetan bersama instansi yang terkait khususnya Dinas
Sosial. Selain itu industri gamelan Kauman kecamatan Karangrejo juga mulai
melebarkan sayap pemasaran. Dan mulai memasarkan sampai ke luar negeri.
Meskipun dari
pelaksanaan Pelita tahap I sudah menunjukkan adanya perubahan kemajuan di
beberapa segi kehidupan, namun masih belum mencapai akselerasi dan modernisasi
pembangunan. Selain itu kondisi dan situasi daerah dipandang belum sepenuhnya
aman dari gangguan sisa-sisa G30S/PKI. Maka dalam rangka pembersihan lingkungan
aparat Pemerintah sesuai dengan Panca Krida Kabinet Pembangunan II, melalui Sub
Direktorat Khusus dibentuk tim Sreening Daerah yang menjangkau sampai tingkat
desa. Dalam rangka usaha mengakselerasikan pembangunan dinas, jawatan dan
instansi di koordinasikan sehingga dapat dirumuskan skala prioritas
pembangunan. Dalam hubungan ini sasaran pembangunan di Daerah Magetan
didasarkan pada 4 faktor, yaitu :
1. Kebutuhan air yang tidak merata di daerah.
2. Keindahan daerah Sarangan beserta telaga pasirnya sebagai obyek wisata.
3. Kerusakan hutan lindung di daerah pegunungan.
4. Penanggulangan gangguan keamanan.
Dalam
pelaksanaannya, pembangunan diarahkan pada usaha pemeliharaan, perbaikan dan
pengadaan sarana dan prasarana di bidang pertanian, perhubungan, pendidikan,
agama dan pemerintahan. Selain itu prasarana perhubungan dan fasilitas umum
juga mendapat perhatian lebih, seperti pembangunan terminal bus Maospati, pasar
sayur magetan, pemugaran pasar baru, peningkatan jalan dalam kota dan
jembatan. Di bidang ekonomi penyaluran sarana produksi diperhatikan. Peserta
BIMAS dikembangkan untuk menjadi INMAS. Sementara itu amalgamasi Koperasi
Tani menjadi KUD (Koperasi Unit Desa) merupakan peningkatan BUUD. Sejalan
dengan itu potensi perkebunan tanaman tebu ditingkatkan melalui program Tebu
Rakyat Intensifikasi. Hasilnya cukup baik, dimana pabrik gula Rejosari Gorang
Gareng menjadi produsen gula terbaik.
Selain itu
gerakan Tabungan Nasional dan Tabungan Asuransi Berjangka (TABANAS/TASKA)
ternyata juga berkembang dengan pesat, sehingga pertama kali diadakan
penilaian, Kabupaten Magetan pada tahun 1974 dinyatakan sebagai juara Nasional
dan meraih plakat TABANAS / TASKA tingkat Nasional. Sementara itu, situasi
sosial politik sudah terkendali dan stabil. KORPRI mulai berfungsi membina
Pegawai Negeri Sipil dari semua jajaran dan unit, sehingga semakin memperkuat
persatuan dan kesatuan pegawai negeri sipil. Demikian pula
organisasi-organisasi istri karyawan yang semula bermacam-macam digabung
menjadi satu nama dalam Dharmawanita sebagai wadah pembinaan istri pegawai
negeri sipil.
Dibidang Sosial
Budaya perkembangannya juga cukup menggembirakan. Program Kelurga Berencana
yang pada awalnya menghadapi suara-suara sumbang terutama jika dikaitkan dengan
nilai agama dan norma tradisionil (banyak anak banyak rejeki, makan tidak makan
asal kumpul), berkat adanya penyuluhan pada setiap kesempatan telah membuka
pengertian dan kesadaran masyarakat. Terlebih lagi setelah BKKBN Kabupaten
Magetan mengadakan penyuluhan keliling dengan perlengkapan yang lengkap dan
memadai, sehingga jumlah akseptor KB pun meningkat. Perkembangan lebih lanjut
dari program KB di Kab. Magetan semakin baik dengan terbentuknya PKBI
(Paguyuban Keluarga Berencana Indonesia) cabang Magetan. Ditambah lagi suasana
kehidupan keagamaan berkembang dengan baik. Pembangunan sarana dan prasarana
peribadatan semakin banyak dibangun di desa-desa.
Dengan
hasil-hasil pembangunan yang semakin banyak dinikmati oleh masyarakat,
stabilitas daerah menjadi semakin mantap dan pertumbuhan perekonomian
masyarakat menunjukkan peningkatan. Karena Kabupaten Magetan dapat
dikatakan ”Daerah Kantong” masih banyak yang belum mengenal Magetan. Karena itu
Bupati Magetan pada saat itu yaitu Drs. Bambang Koesbandono sering mengadakan
ekspose atau release kegiatan pembanguna di Kabupaten Magetan melalui media
massa baik press, melalui RRI ataupun TVRI. Diharapkan nama Magetan akan
dikenal luas. Pada periode ini sasaran pembangunan di titik beratkan pada
pemerataan pembanguan. Sementara itu terbentuknya BAPPEDA (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah) mengadakan perencanaan pembangunan baik di daerah maupun
sektoral dapat terkoordinasikan dengan baik. Pada saat itu Drs. Bambang
Koesbandono merumuskan adanya 6 topologi wilayah Kabupaten Magetan yang
selanjutnay ditetapkan adanya 4 wilayah pengembangan utama ditambah dengan satu
wilayah pengembangan khusus yaitu Magetan Selatan. Ke empat wilayah
pengembangan utama tersebut masing-masing :
1. Wilayah pengembangan I dengan ditekankan pada pengembangan
pemerintahan, pendidikan, industri, perdagangan dan transit pariwisata. Pusat
pengembangan di kota Magetan, didukug wilayah kecamatan Sukomoro, Panekan,
Parang.
2. Wilayah pengembangan II dengan pusat pengembangan Kawedanan dan
meliputi Kec. Takeran, Lembeyan dan Bendo. Arah pengembangan ditekankan pada
pertanian, perdagangan dan industri.
3. Wilayah pengembangan III dengan pusat Kec. Karangmojo didukung Kec.
Maospati, Karangrejo dan sebagian Sukomoro dengan pengembangan pada
perdagangan, pertanian, industri dan pendidikan.
4. Wilayah pengembangan IV dengan pusat di Kec. Plaosan didukung
Kec.Poncol. Titik berat ditekankan pengembangan pariwisata, pertanian dan
ternak potong.
5. Satu kawasan khusus yang sering disebut Magetan Selatan meliputi
wilayah Kecamatan Parang, Poncol dan Lembeyan. Pengembangan lebih
difokuskan pada usaha konservasi dan rehabilitasi tanah kritis melalui
penghijauan.
Dalam hubungan
ini didasarkan pada potensi industri kerajinan kulit dan bambu yang cukup besar
maka untuk pembinaan pengrajin golongan ekonomi lemah sekaligus upaya pemasaran
maka pada tahun 1981 didirikan Lingkungan Industri Kecil (LIK) yang berlokasi
di Ringinagung.
Nama Magetan
yang semakin dikenal dirasakan sebagai tantangan oleh drg. H.M. Sihabudin
ketika menjabat sebagi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Magetan. Magetan
harus dikenal bukan sekedar nama akan tetapi juga isinya, dalam arti
pelaksanaan pembangunan dan kualitas hasil prestasinya. Selain itu juga
pentingnya pemerataan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian konsep pembangunan pada saat itu adalah :
1. Pembangunan Wilayah
2. Pembangunan berwawasan Lingkungan
3. Wilayah Pembangunan yang merata
Dan dengan
program utama yang disebut TRIPANDITA yang memiliki maksud :
1. Merupaka akronim dari IndusTRI pertaniAN penDIdikan dan pariwisaTA
2. Juga memiliki pengertian tiga sikap / cara untuk mewujudkan cita-cita
luhur :
o
Pemantapan sikap mental spiritual
o
Meningkatkan pendapatan
o
Pengembangan sarana dan prasarana
Beberapa proyek
pembangunan yang terlaksana dengan baik pada saat itu :
·
Pembukaan daerah terisolir dusun
Njeblok desa Genilangit Kec. Poncol
·
Pengeprasan tebing dan pelebaran
jalan dari Sarangan ke Cemorosewu sejauh 5 km.
·
Pembangunan stadion kota Magetan
Dengan
pembangunan yang semakin pesat dari tahun ke tahun Magetan pun semakin hidup dan
semarak dan juga dikenal diluar daerah. Bergairah menyongsong hari esok yang
lebih baik, dapat menggapai cita-cita yang gemilang melalui pembangunan di
segala bidang dan merata.
Sumber : http://www.magetankab.go.id/