Kerajaan Majapahit Didirikan
tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana yang
merupakan keturunan Ken Arok raja Singosari.
Kerajaan Majapahit ini mencapai
puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Kebesaran
kerajaan ditunjang oleh pertanian sudah teratur, perdagangan lancar dan maju,
memiliki armada angkutan laut yang kuat serta dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan
patih Gajah Mada.
Di bawah patih Gajah Mada
Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat persatuan yang
dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi “Ia tidak
akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara”.
Mpu Prapanca dalam bukunya Negara
Kertagama menceritakan tentang zaman gemilang kerajaan di masa Hayam Wuruk dan
juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh
Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran.
Kerajaan Majapahit mencapai masa
keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang
terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara
dan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah
Malang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah
Nganjuk. Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut
Raja pula.
Dalam Negara Kertagama dikisahkan
Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang
berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini
menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan
yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai
Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung
Semeru dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung tersebut
adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh
menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai
peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun
terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
Tersebutlah kisah, Adipati Terung
meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang masih “kapernah” kakaknya, untuk
menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan Demak itu tidak mau karena ayahnya
dianggap masih kafir.Brawijaya adalah raja Majapahit, kerajaan Hindu yang
pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para
bupati pesisir seperti Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk
bersama-sama menyerbu Majapahit yang kafir itu.
Prajurit Islam dikerahkan
mengepung ibu kota kerajaan, karena segan berperang dengan puteranya sendiri,
Prabu Brawijaya meloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia.
Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana
itu kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja
kafir, diangkatlah Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu
baru diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak.
Cerita ini masih dibumbui lagi,
yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja
Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara itu
kemudian bergelar “Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina
Panatagama”.
Cerita mengenai serbuan tentara
Majapahit itu dapat ditemui dalam “BABAD TANAH JAWI”. Tapi cerita senada juga
terdapat dalam “Serat Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya
memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging). Karena
takut kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra Bupati Pengging)
membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara saudaranya tetap setia kepada
Sang Prabu Brawijaya.
Tentara Demak dibawah pimpinan
Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti “Keris Makripat” pemberian Sunan
Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan “Badhong” anugerah Sunan Cirebon
yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur
sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk
Islam.
Karena terdesak, Prabu Brawijaya
mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya diiringi Patih gajah Mada.
Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan menjadi Sultan
Demak bergelar “Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan
jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau
tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari kepulau
Bali.
Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan
SERAT KANDA itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan
pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar,
cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya
sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam
berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak
begitu.
Selain fakta lain banyak
menungkap bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai.
Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan
tentara Islam demak.
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam
bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang lebar
membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah. Dikatakan Babad Tanah
Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII dijaman Mataram itu tanpa
konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain
beberapa prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara
Kertagama dan Pararaton”. Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang
Majapahit banyak yang cacat.
“Prasasti Petak” dan
“Trailokyapuri” menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa,
runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478
masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota
kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak.
Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan
Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.
Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya
dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah
kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa,
Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.
Penggubah Babad Tanah Jawi
tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478
dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan
Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri
mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome
Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak
rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.
Setelah Kediri jatuh (Bukan
Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam
uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh,
Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali
berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti
disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja
Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu,
demikian Dr. Slamet Muljana.
Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam
bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja
Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan
serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin
pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan
sejarah.
Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan buku “Dari Panggung
Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den
Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara
Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan”
menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan
masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka.
Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah
bermukim di pantai utara Jawa.
Salah satunya adalah Maulana
Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka
tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman
pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam
Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan
kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli
bukan buatan baru.
Salah satu bukti bahwa sejak
jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam
Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus
Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369
(abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di
Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari
bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf
sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan
bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih
banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda
yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun
1873.
L.C. Damais peneliti dari Prancis
yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI.
Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di
Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit
masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu
kota.
Tampak jelas disini agama Islam
masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.
Satu situs kepurbakalaan lagi
dikecamatan trowulan yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri
Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri
Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks
kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391
Masehi).
Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu.
Dari fakta dan situs sejarah itu,
tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan
dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam
sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang
pesat ditanah Jawa.
Dikompleks Sunan Bonang di Tuban,
Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400
Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban.
Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok
pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah
maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus, Jawa Tengah, ketika
Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat
Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam
tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang
memuliakan sapi.
Untuk menunjukkan rasa
toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid
yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus
dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.
ketika kerajaan Majapahit berdiri
sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya
yang bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi
fenomena pemberontakan.
Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.
Pemberontakan pertama sebetulnya
sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang
berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih
Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311
oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun
1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di
Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas.
Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada.
Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada.
Namun dengan bantuan
pasukan-pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya
menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Berhenti pemberontakan Kuti,
tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih
Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga
pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan
Sadeng membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan.
Namun pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih Gajah Mada –yang juga
panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk memadamkan
pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan
kerajaan Dhaha, Kediri.
Bahkan salah satu penyebab
kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang
Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan,
daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisir
Kerajaan Majapahit yang pernah
mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah
kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Raja-Raja yang pernah
memerintah Kerajaan Majapahit:
1. Raden Wijaya 1273 – 1309
2. Jayanegara 1309-1328
3. Tribhuwanatunggaldewi
1328-1350
4. Hayam Wuruk 1350-1389
5. Wikramawardana 1389-1429
6. Kertabhumi 1429-1478
Penyebab kemunduran
Majapahit kehilangan tokoh besar
seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406
merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah bawahan mulai
melepaskan diri.
Peninggalan kerajaan Majapahit
Bangunan: Candi Panataran,
Sawentar, Tiga Wangi, Muara Takus
Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu
Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan Bhinneka Tunggal Ika.
Paraton Kidung Sundayana dan
Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan Majapahit.
Dua pohon beringin di pintu masuk
Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua pohon beringin itu ditanam pada 22
Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo Soejono dan Gubernur Moehammad Noer.
Di belakang bangunan Pendopo
Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya, terdapat bangunan mungil yang
dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan Panggung itu diyakini
Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah
Palapa.
Begitu memasuki bangunan
Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya, tampak
beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ” kuburan
” itu diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah kesakralan tempat
itu.
Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga
Petilasan Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya
mendapat wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula
Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini dikeramatkan
karena dianggap sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya.
Pada waktu tertentu khususnya
bertepatan dengan malam jumat legi, banyak orang datang untuk berdoa dan
mengharapkan berkah. ” orang berdatangan untuk berdoa, agar tujuannya tercapai
” kata Sajadu yang menyatakan pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah
dilakukan turun-temurun sejak leluhurnya.
Sembari menghisap rokok
kreteknya, pria yang mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya sejak 1985
juga menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai
sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya.
Kemudian pada 1964, dilakukan
pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang dikenal dengan Ibu Dar
Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995 dilakukan pemugaran kembali oleh
Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat oleh Utomo.
Memasuki kawasan Petilasan
Panggung, terpampang gambar Gajah Mada tepat disamping pintu masuk. Sedangkan
dibagian depan pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima
Pedoman ” yang merupakan pedoman suri teladan bagi warga.
Selengkapnya ” Ponco Waliko ” itu
bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng Ngilik Sing Dudu
Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng Eidra Hing Ubaya ”
Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan
Panggung ini sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada tahun 1985 hingga 1995.
Baru setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi, pintu
depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk.
Sumber :
http://bloggersumut.net/category/sejarah-budaya
0 Response to "Sejarah Kerajaan Majapahit"
Post a Comment
Komentar dengan meninggalkan LINK tidak akan dipublikasikan!
Anda membutuhkan info lainnya seperti :
> Sejarah
> Legenda
> Mitos
> Profil atau Biografi
Silahkan request, Segera akan kami posting di blog ini.
Semoga bermanfaat